Mencintai Masjid Dan Memakmurkannya Merupakan Syi’ar Islam.
Oleh: Abdul Malik
An_Namiri. 30 Maret 2015.
Dalam sejarah peradaban Islam, masjid merupakan sentral kegiatan
kegamaan baik yang bersifat ibadah mahdhah maupun ibadah sosial.
Masjid juga
merupakan dasar dan simbol utama bagi masyarakat muslim sebagaimana dituturkan
oleh Syaikh Abdul Hamid Kisyik dalam bukunya “Daurul Masjid fi binaail
Mujatama”. Beliau mengatakan “bahwa syiar utama bagi masyarakat Islam adalah
masjid yang dibangun di setiap wilayah komunitas muslim”. Oleh karenanya
Rasulullah jika mengutus pasukan jihad ke sebuah tempat dan tiba di waktu
malam, maka beliau menginstruksikan menunggu sampai datang waktu subuh dan jika
terdengar suara azan di sebuah masjid membatalkan penyerangan.
Dalam kejadian hijrah ke
kota Madinah, ketika Rasulullah tiba di sana beliau singgah di rumah sahabat
anshar yang bernama Kultsum bin Hadm dan tinggal beberapa hari. Di sela-sela
menikmati istirahatnya, beliau mengajak para sahabatnya untuk membangun sebuah
masjid yang dikenal dengan Masjid Quba. Al-Qur’an telah mengabadikan kisah
pembangunan masjid tersebut sebagai masjid yang dibangun di atas ketakwaan
kepada ALLAH Subhanahu Wata’ala.
“Sungguh masjid yang
didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau
melaksanakan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (QS.
At-Taubah:108).
Dalam buku Siroh karya Dr.
Ramadan Al-Buthi beliau disebutkan bahwa ada tiga pondasi landasan masyarakat
Islam di masa Nabi yang juga harus ada pada masyarakat Islam saat ini, yaitu:
masyarakat yang berbasis masjid, masyarakat yang menjaga Ukhuwah Islamiyah, dan
masyarakat yang berbasis undang-undang (aturan) yang dikenal dengan perjanjian
Madinah (Mitsaqul Madinah).
Dari analisa sejarah,
masyarakat Islam tidak pernah lepas dari keberadaan sebuah masjid yang
merupakan rahim dari sebuah peradaban yang berbasis tauhid. Kehadiran masjid
sudah semestinya disambut oleh setiap muslim dengan suka-cita sebagai sarana
untuk mendekatkan diri kepada ALLAH Subhanahu Wata’ala.
Memakmurkan Masjid adalah
Cinta Kepada Masjid
Dalam Al-Qur’an Allah
Subhanahu Wata’ala berfirman:
“إنما
يعمر مساجد الله من آمن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وآتى الزكاة ولم يخش إلا
الله فعسى أولئك أن يكون من المهتدين”.
“Sesungguhnya yang
memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian, serta tetap melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan tidak
takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka
termasukorang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. At-Taubah:18).
Para mufasir menafsirkan
kata ‘ya’muru’ dalam ayat tersebut dengan dua formula, yaitu: memakmurkan
secara bangunan fisiknya, dan memakmurkannya dengan melakukan segala bentuk
ibadah seperti shalat lima waktu, pengajian, musyawarah tentang keagamaan dan
sosial dan juga kegiatan seremonial seperti Maulid Nabi atau Isra Mi’raj.
Dalam ayat di atas pula
disebutkan ciri orang-orang yang senantiasa memakmurkan masjid yaitu orang yang
beriman kepada ALLAH dan hari pembalasan, orang yang selalu mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, dan orang yang tidak takut kecuali kepada ALLAH Subhanahu
Wata’ala. Maka tidak mungkin orang-orang kafir akan memakmurkan masjid-masjid
yang ada di muka bumi, bahkan bagi mereka haram hukumnya untuk masuk ke
dalamnya.
Shalat Berjama’ah
Terlepas dari perdebatan
seputar hukum shalat berjama’ah antara wajib dan sunnah muakkadah yang penting
ada satu hal yang patut di perhatikan bahwa ada hikmah yang cukup mendalam
dibalik itu semua sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits Rasulullah
Shallalahu ‘alaihi Wasallam. Dalam shalat berjama’ah pahala seseorang
dilipat-gandakan menjadi duapuluh tujuh derajat. Abdullah bin Umar RA,
meriwayatkan sebuah hadits tentang lipatan pahala shalat berjama’ah.
“صلاة
الجماعة أفضل من صلاة الفذّ بسبع وعشرين درجة”.
“ Shalat berjama’ah itu
lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat ”. (H.R.
Bukhari & Muslim)
Sahabat Abi Ummi Maktum,
seorang yang buta sejak kecil datang menghampiri Rasulullah untuk meminta
dispensasi agar tidak datang ke masjid shalat berjama’ah karena tidak ada yang
menuntunnya. Pada awalnya Rasulullah mengijinkan, namun ketika ia pamit dan
melangkah beberapa langkah, Rasulullah memanggil beliau dan ia pun kembali
menghampirinya. Rasulullah bertanya kepadanya, ‘apakah anda bisa mendengar
panggilan azan?’ Ujarnya menjawab: ‘ya’. Rasulullah bersabda, “kalau memang
demikian datanglah anda ke masjid”. (HR.Muslim)
Maka orang yang senantiasa
mondar-mandir ke masjid guna melaksanakan shalat adalah orang yang selalu
mendapat ampunan dari ALLAH Subhanahu Wata’ala. Setiap langkah yang ia ayunkan,
ditinggikan derajatnya di sisi ALLAH, dan malaikat mendo’akannya selama ia
berada dalam penantian shalat. Semua ini merupakan aspek filosofis dalam shalat
berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki. Bahkan yang lebih penting lagi dari
hikmah yang ada dalam shalat berjama’ah yaitu setan tidak akan kuat menggoda
orang yang senantiasa menjaga shalat berjamaah sebagaimana Rasulullah
menggambarkan dalam haditsnya, “ bahwa kambing yang akan dimangsa serigala
adalah kambing yang selalu terpisah dari rombongan ”. Begitu juga seorang
Muslim yang selalu shalat sendirian apalagi ia melaksanakannya di rumah dengan tanpa
ada uzur yang dibenarkan secara syar’i.
Shalat berjama’ah di
samping membangun hubungan vertikal yang baik dengan ALLAH, namun ada juga di
dalamnya nilai-nilai horizontal secara sosial dalam bentuk silaturrahim sesama
muslim. Di masa Rasulullah komitmen yang dibangun oleh para sahabat terlihat
dari shalat mereka secara berjamaah, bahkan jika ada salah seorang sahabat yang
tidak kelihatan pada tiga waktu shalat fardhu sudah bisa dipastikan bahwa
sahabat tersebut sedang uzur (sakit).
Kajian Keagamaan (Pengajian)
Masyarakat muslim
membutuhkan bimbingan seorang ulama yang paham tentang ilmu agama. Untuk
mendapatkan bimbingan tentang ilmu agama pihak Dewan Kemakmuran Masjid (DKM)
sudah seyogyanya memprogramkan kajian rutin keagamaan untuk memberikan bekal kepada
para jama’ah tentang hukum Islam.
Menuntut ilmu, baik itu
ilmu agama maupun ilmu umum, adalah kewajian bagi setiap muslim berdasarkan
dalil-dalil syar’i. Namun yang membedakan hanya muatan wajibnya, yakni antara
Wajib ‘ain (wajib individu) atau Wajib kifayah (wajib bagi sebagian orang
Islam). Maka, urgensi menuntut ilmu dalam Islam tidak bisa diragukan lagi
karena wahyu pertama yang turun di gua hira menjelaskan tentang pentingnya
membaca, “ iqra bismi robbikalladzi khalaq. Khalaqal insana min ‘alaq. Iqra
warbobbukal akrom. Alladzi ‘allama bil qalam ”. Mambaca adalah merupakan sarana
utama untuk mendapatkan ilmu.
Ilmu dalam Islam merupakan
kunci untuk menjadi orang baik sebagaimana sabda Rasulullah, “barangsiapa yang
ALLAH kehendaki menjadi orang baik, indikatornya ialah ia diberikan kefahaman
tentang agama”. Untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, pihak pengurus masjid
harus memilih sosok ulama yang memiliki kredibelitas secara ilmu dan amal.
Maka, orang yang menggabungkan antara ilmu dan iman, atau antara ilmu dan amal
itu dianggap sebagai seorang intelektual dalam terminologi Al-Qur’an.
“إنما
يخشى الله من عباده العلماء”.
“ Di antara hamba-hamba
Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama ”. (QS. Al-Faathir:28).
Untuk mengetahui bahwa
seseorang mencintai masjid atau tidak bisa dilihat dari tiga aspek yang
disebutkan di atas yaitu berkontribusi dalam membangun masjid dengan berinfak
sebagian harta dan atau dengan menjaga shalat lima waktu berjamaah di masjid,
dan atau dengan menghadiri kajian-kajian keislaman yang telah diagendakan oleh
DKM. Jika hati seorang Muslim selalu rindu dengan tiga hal tersebut, maka ia
termasuk orang yang dijanjikan oleh Rasul yaitu termasuk salah satu dari tujuh
golongan yang akan mendapatkan payung ALLAH di padang mahsyar nanti, di mana
tidak ada naungan melainkan naungan-Nya.
Manfa'at.... Insya Allah.
ReplyDeleteSangat bermanfaat artikelnya,, terimakasih :)
ReplyDeleteKubah masjid